Dalam banyak kesempatan, di setiap konsep pidato, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono gemar bermulut manis soal korupsi. Korupsi menjadi menu presto yang enak dikunya hingga ke tulang-tulangnya. Pidato pun seakan kurang eksklusif tanpa “kromasi” kata benda korupsi itu. Kata korupsi terus melangit dupa dalam kampanye politik dan pidato kenegaraan. Lantas apa bau busuk di balik harum dupa tersebut?
Politik dan ekonomi adalah sisi sebelah-menyebelah (as a coin) tetapi memiliki aras yang sama yakni kesejahteraan bangsa dan negara. Masing-masing memiliki fungsi yang berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama. Oleh sebab, aktivitas politik selalu menggandeng “tangan-tangan” ekonomi. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 mengamini rel politik kita adalah demokrasi. Demokrasi menjadi rel minus malum yang dirayakan di seantero negeri ibu pertiwi. Sementara dalam bidang ekonomi, kita memang harus malu-malu menyebut sistem ekonomi Pancasila atau ekonomi kerakyatan-Mubyartian (merunut pakar ekonomi kerakyatan UGM, Prof. Mubyarto).
Atau dengan (harus) malu-malu dan tutup mata, kita menyebut koperasi sebagai “soko guru” perekonomian Indonesia. Pola kebijakan strategis fiskal dan moneter yang cenderung “Smith-Rothbardian” (tokoh kapitalisme, Adam Smith dan Murray Rothbard) membuat sistem ekonomi terperangkap dalam kesejangan antara etika dan retorika, das sein dan das sollen. Dari sana kita baru kenal istilah kelumpuhan sistemik pada aktivitas ekonomi nasional.
Demokrasi dan pseudo kapitalisme dalam realitas politik dan ekonomi adalah determinan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berjalan “ngesot”. Inefisiensi Birokasi yang disetubuhi moral hazard memiliki andil besar dalam menyeret kurva pertumbuhan ekonomi. Inefisiensi birokrasi ini adalah kasur empuk bagi perkembangan bakteri korupsi yang telah bermetamorfosa menjadi tumor. Karenanya korupsi adalah tumor ganas dalam tubuh negara sebab menjarah uang negara, uang rakyat. Pajak yang adalah salah satu sumber utama pembiayaan negara justru tidak kembali pada rakyat. Dan tingkat korupsi birokrasi yang tinggi menurunkan presentase investasi sebagai penyumbang Gross Demestic Product (GDP). Jadi, Korupsi memberi dampak langsung bagi rendahnya pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, demokrasi itu sendiri secara tidak langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Demokrasi politik lebih berperan dalam memitigasi praktek korupsi. Demokrasi lansung memberi kekuatan pada rakyat untuk mengontrol praktek-praktek korupsi yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara. Tetapi gerakan demokrasi rakyat itu berlaku seperti gelas-gelas kaca yang mudah retak dan pecah ketika berhadapan dengan kepalan mafia korupsi yang berkonspirasi. Mafia korupsi itu duduk manis di kursi-kursi parlemen, kementerian, lembaga-lembaga negara dan partai politik. Artinya, dalam konteks Indonesia, korupsi itu sendiri praktik kejahatan negara terhadap warga negara.
Home »
» Korupsi dan Gelas-gelas Kaca
Korupsi dan Gelas-gelas Kaca
Admin | 09.00 | 0
komentar
Related posts:
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar